Rabu, 21 Juli 2010

Tangisan Sang Rasulullah

Setiap pohon yang tidak berbuah, seperti pohon pinus dan pohon cemara, tumbuh tinggi dan lurus, mengangkat kepalanya ke atas, dan semua cabangnya mengarah ke atas. Sedangkan semua pohonnya yang berbuah menundukkan kepala mereka, dan cabang-cabang mereka mengembang ke samping.

Rasulullah adalah orang yang paling rendah hati, meskipun dia memiliki segala kebajikan dan keutamaan orang-orang dahulu kala dan orang-orang sekarang, dia seperti sebuah pohon yang berbuah. Menurut sebuah riwayat, beliau bersabda, “Aku diperintahkan untuk menunjukkan perhatian kepada semua manusia, untuk bersikap baik hati kepada mereka. Tidak ada Nabi yang sedemikian diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh manusia selain aku.”

Kita tahu bahwa beliau dilukai kepalanya, ditanggalkan giginya, lututnya berdarah karena lemparan batu, tubuhnya dilumuri kotoran, rumahnya dilempari kotoran ternak. Beliau di hina, dan di siksa dengan keji.

Saat beliau berdakwah di Thaif, tak ada yang didapatkannya kecuali hinaan dan pengusiran yang keji. Ketika Rasulullah menyadari usaha dakwahnya itu tidak berhasil, beliau memutuskan untuk meninggalkan Thaif. Tetapi penduduk Thaif tidak membiarkan beliau keluar dengan aman, mereka terus mengganggunya dengan melempari batu dan kata-kata penuh ejekan. Lemparan batu yang mengenai Nabi demikian hebat, sehingga tubuh beliau berlumuran darah.

Dalam perjalanan pulang, Rasulullah Saw. menjumpai suatu tempat yang dirasa aman dari gangguan orang-orang jahat tersebut. Di sana beliau berdoa begitu mengharukan dan menyayat hati. Demikian sedihnya doa yang dipanjatkan Nabi, sehingga Allah mengutus malaikat Jibril untuk menemuinya. Setibanya di hadapan Nabi, Jibril memberi salam seraya berkata, “Allah mengetahui apa yang telah terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu.” Sambil berkata demikian, Jibril memperlihatkan para malaikat itu kepada Rasulullah Saw.

Kata malaikat itu, “Wahai Rasulullah, kami siap untuk menjalankan perintah tuan. Jika tuan mau, kami sanggup menjadikan gunung di sekitar kota itu berbenturan, sehingga penduduk yang ada di kedua belah gunung ini akan mati tertindih. Atau apa saja hukuman yang engkau inginkan, kami siap melaksanakannya.”

Mendengar tawaran malaikat itu, Rasulullah Saw. dengan sifat kasih sayangnya berkata, “Walaupun mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat nanti akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.”

Ketika Makkah berhasil ditaklukkan, beliau berkata kepada orang-orang yang pernah menyiksanya, “Bagaimanakah menurut kalian, apakah yang akan kulakukan terhadapmu?” Mereka menangis dan berkata, “Engkau adalah saudara yang mulia, putra saudara yang mulia.” Nabi Saw. bersabda, “Pergilah kalian! Kalian adalah orang-orang yang dibebaskan. Semoga Allah mengampuni kalian.” (HR. Thabari, Baihaqi, Ibnu Hibban, dan Syafi’i).

Abu Sufyan bin Harits, sepupu beliau, lari dengan membawa semua anak-anaknya karena pernah menyakiti Rasul Saw., maka Ali bin Abi Thalib Ra. bertanya kepadanya, “Hai Abu Sufyan, hendak pergi kemanakah kamu?” Ia menjawab, “Aku akan keluar ke padang sahara. Biarlah aku dan anak-anakku mati karena lapar, haus, dan tidak berpakaian.”

Ali bertanya, “Mengapa kamu lakukan itu?” Ia menjawab, “Jika Muhammad menangkapku, niscaya dia akan mencincangku dengan pedang menjadi potongan-potongan kecil.”

Ali berkata, “Kembalilah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya dengan mengakui kenabiannya dan katakanlah kepadanya sebagaimana yang pernah dikatakan oleh saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf, ….Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). (QS. Yusuf [12]: 91).

Abu Sufyan pun kembali kepada Nabi Saw. dan berdiri di dekat kepalanya, lalu mengucapkan salam kepada beliau seraya berkata, Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan engkau atas kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). (QS. Yusuf [12]: 91).

Rasulullah Saw. pun menengadahkan pandangannya, sedang air matanya membasahi pipinya yang indah hingga membasahi jenggotnya. Rasulullah menjawab dengan menyitir firman-Nya, …Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu) dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. (QS. Yusuf [12]: 92).

Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Bacakan al-Quran kepadaku.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Bagaimana aku membacakannya kepada Engkau, sementara al-Quran itu sendiri diturunkan kepada Engkau?”

“Aku ingin mendengarnya dari orang lain,” jawab beliau. Lalu Ibnu Mas’ud membaca surat an-Nisa hingga firman-Nya, Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS. an-Nisâ [4]: 41).

Begitu bacaan tiba pada ayat ini, beliau bersabda, “Cukup.”

Ibnu Mas’ud melihat ke arah beliau, dan terlihatlah olehnya bahwa beliau sedang menangis.

Dalam kisah ini kita memperoleh pelajaran berharga, bahwa Rasulullah Saw. sangat mencintai umat manusia. Beliau sangat mengharapkan agar orang-orang kafir itu beriman. Karena balasan kekafiran adalah neraka yang menyala-nyala. Rasulullah sendiri pernah melihat neraka. Dia melihat sungguh mengerikan neraka itu. Hingga ketika menyadari hal itu, mengalirlah airmatanya dengan deras.

Abu Dzar Ra. meriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau mendirikan shalat malam, sambil menangis dengan membaca satu ayat yang diulang-ulangi, yaitu, Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau juga. (QS. al-Maidah [5]: 118).

Dan diriwayatkan saat hari kiamat tiba, beliaulah orang yang pertama kali dibangkitkan. Yang diucapkannya pertama kali adalah, “Mana umatku? Mana umatku? Mana umatku?” Beliau ingin masuk surga bersama-sama umatnya. Beliau kucurkan syafaat kepada umatnya sebagai tanda kecintaan beliau terhadap mereka. Beliau juga sering berdoa, Allahumma salimna ummati. Ya Allah selamatkan umatku.

Keadaan diri Nabi Muhammad Saw. digambarkan Allah Swt. dalam firman-Nya, Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. at-Taubah [9]: 129).

Alangkah buruknya akhlak kita bila tak mencintai Nabi, sebagaimana Nabi mencintai kita, berkorban untuk kita, dan meneteskan airmatanya untuk kita. Di sini, apakah kita hanya berdiam diri saat Nabi dihina, seolah kita bukan lagi umatnya. Apakah kita rela Nabi berdakwah seorang diri dan kemudian dilempari batu hingga berdarah-darah, sementara umatnya yang begitu banyak hanya bisa berdiam diri? Tangisan sang Nabi hendaknya menjadi pengingat kita, untuk lebih mencintainya, membelanya, bahkan berkorban nyawa untuknya, sebagaimana ia telah berkorban nyawa untuk kita agar kita selamat dari siksa neraka.

Sabtu, 10 Juli 2010

TANGISAN BILAL BIN RABAH -Radhiallaahu ‘Anhu, MUAZIN RASULULLAH -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala

Jika nama Abu Bakar disebut, Al-Faruq Umar bin al-Khaththab -Radhiallaahu ‘Anhu berkata, “Abu Bakar adalah tuan kami, dan dia membebaskan tuan kami.” Yakni Bilal. Orang yang disebut Umar sebagai “tuan kami” adalah benar-benar orang yang mulia dan mempunyai kedudukan yang agung.

Ia adalah mu’adzin Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Ia adalah hamba yang disiksa oleh tuannya dengan batu yang telah dipanaskan un-tuk memurtadkannya dari agamanya, tapi ia berkata, “Ahad, Ahad (Allah Yang Esa).”

Ia hidup sebagai hamba sahaya, hari-harinya berlalu tanpa beda dan buruk. Ia tidak punya hak pada hari ini, dan tidak punya harapan pada esok hari. Seringkali ia mendengar tuan-nya, Umayyah, berbicara bersama kawan-kawannya pada suatu waktu dan para anggota kabilah di waktu lain tentang Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, dengan pembicaraan yang meluapkan amarah dan ke-dengkian yang sangat.

Pada suatu hari Bilal bin Rabah mengetahui cahaya Allah, lalu ia pergi menemui Rasulullah a dan mengikrarkan keisla-mannya. Setelah itu ia menghadapi berbagai macam penyiksaan, tapi ia tetap tegar bagai gunung. Ia diletakkan dalam keadaan telanjang di atas bara api. Mereka membawanya keluar pada siang hari ke padang pasir, dan mencampakkannya di atas pasir-pasir yang panas dalam keadaan tak berbaju. Kemudian mereka membawa batu yang telah dipanaskan yang diangkut dari tem-patnya oleh sejumlah orang dan meletakkannya di atas tubuh dan dadanya. Siksa demi siksa berulang-ulang setiap hari, tapi ia tetap tegar. Hati sebagian penyiksanya menjadi lunak seraya berkata, “Sebutlah Lata dan Uzza dengan baik.” Mereka me-nyuruhnya supaya memohon kepadanya tapi Bilal menolak untuk mengucapkannya, dan sebagai gantinya ia mengucapkan senandung abadinya, “Ahad, Ahad“.

Abu Bakar ash-Shiddiq -Radhiallaahu ‘Anhu datang pada saat mereka menyiksanya, dan meneriaki mereka dengan ucapan, “Apakah kalian membunuh seseorang karena berucap, ‘Rabbku adalah Allah?’.” Abu Bakar meminta kepada mereka untuk menjualnya kepadanya. Umayyah memang berkeinginan untuk menjualnya. Akhirnya Abu Bakar rhu membelinya dengan harga yang berlipat ganda dari Umayyah. Setelah itu dia membebaskannya, dan Bilal mulai menjalani kehidupannya di tengah-tengah orang-orang mer-deka… para sahabat yang taat lagi berbakti. Ketika Abu Bakar memegang tangan Bilal untuk membawanya, maka Umayyah berkata kepadanya, “Ambillah! Demi Lata dan Uzza, seandainya kamu menolak kecuali membelinya dengan satu uqiyah, niscaya aku menjualnya kepadamu dengan harga itu.” Abu Bakar rhu menjawab, “Demi Allah, seandainya kamu menolak kecuali seharga seratus uqiyah, niscaya aku membayarnya.”

Setelah Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam hijrah ke Madinah, Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam me-nyariatkan adzan untuk shalat, dan pilihan jatuh pada Bilal sebagai mu’adzin pertama untuk shalat. Ini pilihan Rasulullah saw. Bilal pun melantunkan suaranya yang menyejukkan dan menggembirakan, yang memenuhi hati dengan iman, dan pendengaran dengan keindahan. Ia menyeru, “Allahu Akbar, Allahu Akbar” dan seterusnya. Ketika datang perang Badar, dan Allah menyampaikan urusannya, Umayyah keluar untuk berperang… Dan ia jatuh tersungkur dalam keadaan mati di tangan Bilal -Radhiallaahu ‘Anhu.

Pemimpin kekafiran mati tertusuk oleh pedang-pedang Islam sebagai balasan buat Bilal yang berteriak setelah terbunuh-nya, “Ahad, Ahad.” Hari-hari berlalu, Makkah ditaklukkan, dan Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam masuk Makkah dengan ditemani Bilal. Kebenaran telah datang, dan kebatilan telah sirna. Bilal mengikuti semua peperangan bersama Rasul -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan mengumandangkan adzan untuk shalat. Ia terus menjaga syiar agama yang agung ini. Sampai-sampai Rasul -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam menyifatinya sebagai “seorang pria ahli surga”. Dan Rasul -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam berpulang ke haribaan Allah dalam keadaan ridha lagi diridhai. Sepeninggal beliau, sahabatnya dan khalifahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq -Radhiallaahu ‘Anhu bangkit memimpin urusan kaum muslimin. Bilal pergi menemui ash-Shiddiq seraya berkata kepadanya, “Wahai Khalifah Rasulullah, aku mendengar Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda,


‘Amalan mukmin yang paling utama ialah berjihad di jalan Allah’.”*

Abu Bakar bertanya kepadanya, “Apakah yang engkau kehendaki, wahai Bilal?” Ia menjawab, “Aku ingin murabathah (siap siaga berperang) di jalan Allah hingga aku mati.” Abu Bakar bertanya, “Lantas siapa yang mengumandangkan adzan untuk kami?!”

Bilal berkata, sementara kedua matanya mengalirkan air mata, “Sesungguhnya aku tidak mengumandangkan adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam .” Abu Bakar berkata, “Tetaplah mengumandangkan adzan untuk kami, wahai Bilal.” Bilal berkata, “Jika engkau memerdekakan aku agar aku menjadi milikmu, lakukan apa yang engkau suka. Jika engkau memerdekakan aku karena Allah, biarkanlah aku berikut pembebasan yang kau berikan kepadaku.” Abu Bakar berkata, “Aku memerdekakanmu karena Allah, ya Bilal.”

Bilal kemudian melakukan perjalanan ke Syam yang di sana ia terus menjadi mujahid dan selalu siap sedia untuk berjihad. Konon, ia berkali-kali datang ke Madinah dari waktu ke waktu … tapi ia tidak mampu mengumandangkan adzan. Hal itu karena setiap kali hendak mengucapkan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah), kenangan-kenangan masa lalu menahan dirinya, lalu suaranya tersembunyi di kerongkongannya, dan sebagai gantinya air matanyalah yang meneriakkan kata-kata itu.**

Akhir adzan yang dikumandangkannya ialah pada saat Khalifah al-Faruq Umar bin al-Khaththab -Radhiallaahu ‘Anhu mengunjungi Syam. Kaum muslimin meminta Khalifah membawa Bilal agar mengumandangkan adzan untuk shalat mereka. Amirul Mu’minin memanggil Bilal, sementara waktu shalat telah tiba. Umar berharap kepadanya agar mengumandangkan adzan untuk shalat. Bilal pun naik dan mengumandangkan adzan… maka menangislah para sahabat yang pernah bersama Rasulullah saw ketika Bilal mengumandangkan adzan untuk beliau. Mereka menangis seakan-akan mereka tidak pernah menangis sebelumnya, selamanya.

Bilal meninggal di Syam dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah, sebagaimana yang dikehendakinya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikannya ridha kepadaNya.

Akan datang di Akhir Jaman...

Sayidina Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Pada akhir zaman nanti akn muncul kaum berusia muda (ahdasul asnan) berpikiran pendek (sufahaul ahlam), mereka memperkatakan sebaik-baik ucapan kebaikan, mereka membaca Al-Quran tetapi bacaan mereka itu tidak melebihi (melampui) kerongkongan mereka, mereka memecah agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya maka dimanapun kamu menjumpainya maka perangilah mereka sebab dalam memerangi mereka terdapat pahala disisi Allah pada hari kiamat kelak. ” (Sahih Bukhari/6930, Sahih Muslim/2462, Sunan Abu Daud/4767, Sunan Nasai/4107 Sunan Ibnu Majah/168, Sunan Ahmad/616 ).

KEMATIAN DAN ALAM BARZAKH....

KEMATIAN
Adalah terpisahnya roh dari jasadnya (wadak). Seseorang yang telah mati dan kemudian di masukan ke dalam kubur.
Di alam kubur itulah seseorang berada di Alam Barzah.

ALAM BARZAKH
Adalah dinding pemisah antara dua alam yang akan di alami setiap manusia, yaitu Alam Dunia dan Alam Akhirat.
Sebelum menempuh alam Akhirat seseorang akan menempuh Alam Barzakh.

SUASANA DI ALAM BARZAKH
Setelah beberapa langkah para pengantar meninggalkan mayat, orang yang telah di kebumikan itu kemudian ditiupkan kembali roh ke jasadnya.
Dan datanglah kedua Malaikat Munkar dan Nakir bertanya mengenai amalan si mayat.

Dalam satu riwayat :
Munkar dan Nakir ini adalah amat hitam legam lagi kebiru-biruan, matanya merah menyala. Dan dalam riwayat lain matanya seperti kilatan yang menyambar, bersinar-sinar lagi tajam, sehingga tidak ada yang sanggup memandangnya.

SUARA MALAIKAT MUNKAR DAN NAKIR
Adalah seperti guruh halilintar yang membelah langit, malah lebih dasyat dari itu. Ketika mereka bertanya kepada orang mukmin tetapi durhaka : Tidak pernah Shalat, Puasa, Sedekah, Naik Haji bila cukup syaratnya, malah berzina, berjudi dan bergaul bebas, serta tidak mau menurup aurat.
Keluar dari mulutnya suatu api yang menyambar dan membakar mayat-mayat itu.

Menggapai Hidup Penuh Berkah

Bismillahirrahmaanirrahiim

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barokah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Q.S. Al-A'raaf : 96)

Mengapa uang yang banyak, rumah yang besar, istri yang jelita atau suami yang tampan, ilmu yang luas tidak mengangkat derajat pemiliknya? Malah menghinakannya? bukan kebahagiaan atau ketentraman yang diperoleh melainkan masalah dan malapetaka. Apa sebabnya? sebenarnya penyebabnya sederhana sekali, yakni bahwa semua itu tidak barokah.

Kita tidak boleh cukup senang memiliki sesuatu. Tetapi yang harus lebih kita senangi adalah keberkahan atas segala sesuatu itu.Jadi bukan takut tidak memiliki sesuatu tetapi harus lebih takut sesuatu yang sudah dimiliki tidak membawa berkah.

Kita lihat, misalnya suatu rumah yangga yang penuh dengan percekcokan, sebenarnya harus dicurigai jangan-jangan prosedur, keilmuan, dan etika dalam mengarungi dunia rumah tangga tidak cocok dengan yang disyariatkan Allah.

Maka, kita harus sangat takut dengan hidup yang tidak berkah, yaitu yang tidak bermanfat bagi dunia juga tidak bermanfaat bagi akhirat. Mulailah berhati-hati dengan uang. Bagaimana supaya uang menjadi berkah? Seperti halnya gelas. Gelas hanya bisa enak digunakan untuk minum kalau terlebih dahulu gelas itu kita bersihkan. jangan sekali-kali kita mencoba untuk tidak jujur. untuk apa? Jujur atau tidak jujur tetap Allah yang memberi. Rizki penjahat datang dari Allah, rizki orang jujur juga datang dari Allah. Bedanya, rizki yang diberikan kepada penjahat tadi haram, tidak berkah, sedangkah yang diberikan kepada orang jujur adalah rizki yang berkah. Sebab sebenarnya meskipun penjahat, kalau Allah tidak memberi, tidak pernah dia dapatkan hasilnya. Banyak pencuri yang gagal, koruptor yang gagal. Semua itu karena kehendak Allah.

Sesudah kita jujur, hati-hati pula jangan sampai ada hal-hak orang lain yang terampas atau belum tertunaikan, apalagi hak ummat. Na'udzubillahi min dzalik.

Alkisah, Umar bin Abdul Aziz -semoga Allah meridhainya-, ketika beliau sedang mengerjakan tugas negara malam hari di rumahnya, tiba-tiba anaknya mengetuk pintu kamar. KEmudian beliau membuka pintu dan lampu di kamar tersebut dimatikannya. Si anak lalu bertanya, "Kenapa lampu engkau matikan , ya Abi?" lalu beliau menjawab, "Karena minyak pada lampu ini milik negara. Tidak layak kita membicarakanurusan keluarga dengan menggunakan asilitas negara", begitulah Umar, sangat hati-hatinya karena mengharapkan hidupnya mendapat ridha dan berkah dari Allah swt.

Dari cerita yang dikisahkan di atas mengandung berbagai hikmah yang dapat kita teladani.

Menggunakan jabatan dan wewenang yang sangat membawa berkah tiada lain kecuali mengenyampigkan kepentingan dan kesenangan pribadi di atas hak dan kesenangan Allah.

Harta kekayaan yang melimpah yang kita kuasai, yang membawa berkah, tiada lain kecuali harta yang bersih yang tertunaikan kewajiban-kewajibannya baik hak orang lain apalagi hak ummat.

Wallahu a'lam bishshawab.

Kamis, 01 Juli 2010

Maaf..................!!!

Maaf.....
Sudah lama tidak posting
Masih sibuk beberapa saat ini.
Doakan saja cepat selesai urusan
Amien......................