Kamis, 25 Maret 2010

Batu-batu yang Aneh

Dalam sebuah hadis menceritakan, pada zaman dahulu ada seorang lelaki wukuf di Arafah. Dia berhenti di lapangan luas itu. Pada waktu itu orang sedang melakukan ibadat haji. Wukuf di Arafah adalah rukun haji yang sangat penting.

Rupanya lelaki itu tadi masih belum mengenali Islam dengan lebih mendalam. Masih dalam istilah 'muallaf'. Semasa dia berada di situ, dia telah mengambil tujuh biji batu lalu berkata pada batu itu :

"Hai batu-batu, saksikanlah olehmu bahwa aku bersumpah bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah."

Setelah dia berkata begitu dia pun tertidur di situ. Dia meletakkan ketujuh-tujuh batu itu di bawah kepalanya.

Tidak lama kemudian dia bermimpi seolah-olah telah datang kiamat. Dalam mimpi itu jyga dia telah diperiksa segala dosa-dosa dan pahalanya oleh Tuhan. Setelah selesai pemeriksaan itu ternyata dia harus masuk ke dalam neraka. Maka dia pun pergi ke neraka dan hendak memasuki salah satu daripada pintu-pintunya.

Tiba-tiba seketika batu kecil yang dikumpulnya tadi datang dekat pintu neraka tersebut. Malaikat azab telah berada di situ. Semua malaikat itu berusaha memasukkannya ke pintu neraka tersebut. Tapi mereka tidak sanggup rupanya. Kemudian dia pun pergi ke pintu lain. Para malaikat itu tetap berusaha hendak memasukkannya ke dalam neraka tapi tidak berjaya kerana batu mengikut ke mana saja dia pergi.

Akhirnya habislah ketujuh pintu neraka didatanginya. Para malaikat yang bertindak akan menyiksa orang-orang yang masuk neraka berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan lelaki itu ke dalam neraka tetapi tidak berjaya.

Sampai di pintu neraka nomor tujuh, neraka itu tidak mahu menerimanya kerana ada batu yang mengikutinya. Ketujuh-tujuh batu itu seolah-olah membentengi lelaki itu daripada memasuki neraka. Kemudian dia naik ke Arasy di langit yang ketujuh. Di situlah Allah berfirman yang bermaksud :

"Wahai hambaku, aku telah menyaksikan batu-batu yang engkau kumpulkan di padang Arafah. Aku tidak akan menyia-nyiakan hakmu. Bagaimana aku akan menyia-nyiakan hakmu sedangkan aku telah menyaksikan bunyi 'syahadat' yang engkau ucapkan itu. Sekarang masuklah engkau ke dalam syurga."

Sebaik saja dia menghampiri pintu syurga itu, tiba-tiba pintu syurga itupun terbuka lebar. Rupanya kunci syurga itu adalah kalimat syahadat yang diucapkannya dahulu.

Sepenggal Cerita

Ada seorang hamba Allah, beliau rajin sholat malam dan bermunajat, berkhalwat dengan Al-Kholiq. Setiap malam dari kedua matanya yang memerah karena menangis, mengalir air yang membasahi janggutnya, beliau berbisik-bisik lirih memohon beberapa permintaan dan pengharapan. Dari waktu ke waktu, tahun ke tahun, hingga putih rambutnya tak kunjung jua permintaan beliau dikabulkan oleh Allah. Permintaannya (diantaranya) adalah agar segera diangkat kemiskinan yang menjadi selimut kehidupannya selama ini, keluarganya sering sakit-sakitan, setiap hari ia keluar untuk berusaha memperoleh rizki Allah tapi tidak tampaklah dilapangkan rizqi itu untuknya.

Padahal dahulu, ketika ia masih bekerja menjadi petugas bea cukai uang dan kesenangan adalah kawan akrab. Hingga suatu saat ia mendengarkan ceramah yang menjelaskan bahwa penyelewengan yang sering ia lakukan selama ini adalah Haram dan tidak membawa keberkahan, kelak penyelewengan ini akan berhadapan dengan hukum Allah yang tidak bisa dibantah lagi di akhirat. Bergetar hatinya, masuk hidayah Allah atasnya.

Sejak itu tidak pernah lagi ia melakukan perbuatan tersebut, semakin rajin ia melakukan sholatul Lail mengadukan nasibnya hanya kepada Allah, agar diberikan harta yang halal dan rizqi yang lapang dalam menghidupi hidup ini.

Namun berangsur-angsur seakan terkena kualat (karena meninggalkan perbuatan haram itu) penghasilannya semakin menurun, beliau sekeluarga sering sakit dan menjadikan badannya yang sehat menjadi kurus, anak satu-satunya meninggal setelah menjalani perawatan selama beberapa minggu dirumah sakit.

Sampai saat itu ia masih bersabar, tak pernah terucap dari mulutnya kata-kata keluhan dan makian atas apa yang menimpa hidupnya. Malahan menjadikannya semakin sering dan khusyu ia mendekatkan diri kepada Allah. Dan malang yang tidak kunjung padam terhadapnya, korupsi yang dahulu ia lakukan bertahun silam terungkap, maka ia dan beberapa orang rekannya terkena pemecatan dengan tidak hormat. Subhanallah, semakin berat rasanya hidup ini baginya. Tambah satu kalimat panjang di malam harinya ia mengadu kehadapan Rabbnya,menangis dan perih rasa batinnya. Setiap dalam sedihnya ia berdoa, selalu ada bisikan lirih di hatinya, "Apa yang engkau harapkan itu dekat sekali, bila engkau bertaqwa!" Setiap mendengar bisikan itu, timbul semangatnya. Kini setelah ia dipecat, ia berdagang. Baginya dagang yang tidak pernah untung, hutang yang semakin bertumpuk, musibah yang seakan tidak berujung....ahhhhh.

Setelah puluhan tahun kedepan sejak ia dekat dengan Allah setiap malamnya, tidak juga merobah hidupnya. Sejak puluhan tahun ia mendengar bisikan di atas, tidak juga tampak yang dijanjikanNya. Mulailah timbul pemikiran yang tidak baik dari syaithon. Hingga beliau berkesimpulan, tampaknya Allah tidak ridho terhadap doanya selama ini. Maka pada malam harinya, ia berdoa kepada Allah : "Wahai allah yang menciptakan malam dan siang, yang dengan mudah menciptakan dirimu yang sempurna ini. karena engkau tidak mengabulkan permintaanku hingga saat ini, mulai besok aku tidak akan meminta dan sholat lagi kepadamu, aku akan lebih rajin berusaha agar tidaklah harus beralasan bahwa semua tergantung darimu. maafkan aku selama ini, ampuni aku selama ini menganggap bahwa diriku sudah dekat denganmu!"

Beliau tutup doa dengan perasaan berat yang semakin dalam dari awal ia berniat seperti itu ('mengkhatamkan' ibadah sholat lailnya). Beliau berbaring dengan pemikiran menerawang hingga ia tak mengetahui kapan ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi, mimpi yang membuatnya semakin merasa bersalah. Seakan ia melihat suatu Padang luas bermandikan cahaya yang menakjubkan, dan puluhan ribu, atau mungkin jutaan makhluq cahaya duduk diatas betisnya sendiri dengan kepala tertunduk takut. Ketika beliau mencoba mengangkat wajahnya untuk melihat kepada siapa mereka bersimpuh, tidak mampu... kepalanya dan matanya tidak mampu memandang dengan menengadah.
Beliau hanya dapat melihat para makhluq yang duduk dihadapan Sesuatu Yang Dahsyat. Terdengar olehnya suara pertanyaan, "Bagaimana hambaku si fulan, hai malaikatku?" Nama yang tidak dikenalnya. Seorang berdiri dengan tubuh gemetar karena takut, dan bersuara dengan lirih, "Subhanaka yaa Maalikul Quddus, Engkau lebih tahu keadaan hambaMu itu. Dia mengatakan demikian : "Wahai Allah yang menciptakan malam dan siang, yang dengan mudah menciptakan dirimu yang sempurna ini. Karena Engkau tidak mengabulkan permintaanku hingga saat ini, mulai besok aku tidak akan meminta dan sholat lagi kepadaMu, aku akan lebih rajin berusaha agar tidaklah terus beralasan bahwa semua tergantung dariMu. Maafkan aku selama ini, ampuni aku selama ini menganggap bahwa diriku sudah dekat denganMu!"

"Ampuni dia yaa Al 'Aziiz, yaa Al Ghofuurur Rohiim!"
Tersentak beliau, itu...kata-kataku semalam...celaka, pikirnya. Kemudian terdengar suara lagi : "Sayang sekali, padahal Aku sangat menyukainya, sangat mencintainya, dan Aku paling suka melihat wajahnya yang terpendam menangis, bersimpuh dengan menengadahkan tangannya yang gemetar kepadaKu, dengan bisikan-bisikan permohonannya kepadaKu, dengan pemintaan-permintaannya kepadaKu, sehingga tak ingin cepat-cepat Kukabulkan apa yang hendak Aku berikan kepadanya agar lebih lama dan sering Aku memandang wajahnya, Aku percepat cintaKu padanya dengan Aku bersihkan ia dari daging-daging haram badannya dengan sakit yang ringan. Aku sangat menyukai keikhlasan hatinya disaat Aku ambil putranya, disaat Kuberi ia cobaan tak pernah Ku dengar keluhan kesal dan menyesal di mulutnya. Aku rindu kepadanya... rindukah ia kepadaKu, hai malaikat-malaikatKu?"

Suasana hening, tak ada jawaban. Menyesallah beliau atas pernyataannya semalam, ingin ia berteriak untuk menjawab dan minta ampun tapi suara tak terdengar, bising dalam hatinya karenanya. "Ini aku Yaa Robbi, ini aku. Ampuni aku yaa Robbi, maafkan kata-kataku !" semakin takut rasanya ketika tidak tampak mereka mendengar, mengalirlah air matanya terasa hangat di pipinya. Astaghfirullah! Terbangun ia, mimpii...

Segeralah ia berwudhu, dan kembali bersujud dengan bertambah khusyu', kembali ia sholat dengan bertambah panjang dari biasanya, kembali ia bermunajat dan berbisik-bisik dengan Al-Kholiq dan berjanji tak akan lagi ia ulangi sikapnya malam tadi selama-lamanya. "...aa Allah, Yaa Robbi jangan engkau ungkit-ungkit kebodohanku yang lalu, ini aku hambaMu yang tidak pintar berkata manis, datang dengan berlumuran dosa dan segunung masalah dan harapan, apapun dariMu asal Engkau tidak membenciku aku rela.... Allah, aku rindu padaMu..."

Semoga menambah keimanan dan ketekunan kita dalam mengerjakan sholat lail...amiin.

Keutamaan membaca Istighfar dan Hamdalah saat Menerima Kesusahan dan Karunia..

Nabi shollallahu ’alaih wa sallam biasa baca ketika menghadapi keadaan susah maupun menerima karunia. Untuk mengantisipasi kesusahan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam melazimkan kalimat istighfar sebagaimana hadits berikut:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang tetap melakukan istighfar, maka Allah subhaanahu wa ta’aala akan membebaskannya dari segala kesusahan dan melapangkannya dari setiap kesempitan serta akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak diduganya.” (HR Abu Dawud 1297)

Sedangkan ketika menerima karunia, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menganjurkan kita membaca sebagaimana hadits berikut:


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً
فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَاهُ أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ

“Setiap orang yang diberi karunia Allah ta'aala lalu ia membaca ‘Alhamdulillah’, maka Allah ta’aala akan berikan yang lebih utama daripada apa yang telah ia terima.” (HR Ibnu Majah 3795)

4 Macam Hati

Nabi bersabda
Ada 4 macam hati:
1. Hati yang permukaannya licin dan bersih, didalamnya ada pelita yang menerangi, itulah hati orang Mukmin.
2. Hati yang hitam dan terbalik permukaannya, yaitu hati orang kafir
3. Hati yang tertutup dan terikat dalam sampul, yaitu hati orang munafik
4. Hati yang pipih, didalamnya ada keimanan yang bercampur dengan kemunafika. Perumpamaan keimanan yang ada, seperti tanaman sayur-sayuran yang sehat karena disiram air yang baik. Sedangkan perumpamaan kemunafikan yang ada padanya, seperti bisul yang dipenuhi nanah. Mana diantara kedua-duanya yang lebih dominan,dengan itupula ia disifati.

4 Perumpamaan Manusia

Nabi bersabda
Manusia dibedakan menjadi 4 perumpamaan:
1. Orang mukmin yang membaca ayat-ayat Allah diumpamakan buah jeruk: sedap baunya dan lezat rasanya.
2. Orang mukmin yang tidak membaca ayat-ayat Al-Qur’an diumpamakan buah kurma: tidak berbau, tapi manis rasanya
3. Orang kafir yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an diumpamakan bau-bauan: harum baunya, tapi pahit rasanya
4. Orang kafir yang tidak membaca ayat-ayat Al-Qur’an diumpamakan buah maja : tidak sedap baunya serta pahit pula rasanya.

Senin, 15 Maret 2010

TIGA RANKING YANG DIPUJI ALLAH

Tiga ranking yg dipuji Allah :
1. Mampu menahan amarah padahal bisa membalas.
2. Bukan hanya mampu menahan amarah tetapi sudah bisa
memaafkan.
3.Inilah rangking tertinggi sampai Allah menyatakan cintaNya
kpd hamba ini,"mampu menahan amarah,memaafkan,melupakan dan
mengajak untuk membuka lembaran baru",SubhanAllah, inilah hamba yg
akan ...mendapat ...syurga seluas langit & bumi.( Ali Imron 134 - )

ETIKA BERBICARA DALAM ISLAM

Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:

"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia". (An-Nisa: 114).



hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat dide-ngar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.



Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyatakan: "Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna". (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).



Janganlah kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu di dalam hadisnya menuturkan : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar".(HR. Muslim)



Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda". (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).



Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah Radhiallaahu 'anha. telah menuturkan: "Sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya". (Mutta-faq'alaih).



Menghindari perkataan jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang mu'min itu pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya". (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).



Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir Radhiallaahu 'anhu disebutkan: "Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun". Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab: "Orang-orang yang sombong". (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).



Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain".(Al-Hujurat: 12).



Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.



Jangan memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.



Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.



Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan). (Al-Hujurat: 11).



ETIKA BERBEDA PENDAPAT



Ikhlas dan mencari yang haq serta melepaskan diri dari nafsu di saat berbeda pendapat. Juga menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.



Mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur'an dan Sunnah. Karena Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya:

"Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Kitab) dan Rasul". (An-Nisa: 59).



Berbaik sangka kepada orang yang berbeda pendapat denganmu dan tidak menuduh buruk niatnya, mencela dan menganggapnya cacat.



Sebisa mungkin berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara menafsirkan pendapat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran yang baik.



Berusaha sebisa mungkin untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian yang dalam dan difikirkan secara matang.



Berlapang dada di dalam menerima kritikan yang ditujukan kepada anda atau catatan-catatang yang dialamatkan kepada anda.



Sedapat mungkin menghindari permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah.



Berpegang teguh dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan kasar menghadapi lawan.

BACALAH.........!!!

Banyak orang lemah iman bergaul dengan sebagian orang fasik dan ahli maksiat, bahkan mungkin bergaul pula dengan sebagian orang yang menghina syariat Islam, melecehkan Islam dan para penganutnya.

Tidak diragukan lagi, perbuatan semacam itu adalah haram dan membuat cacat akidah, Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain, dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka jangnlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu) (Al An’am : 68).

Karenanya, jika keadaan mereka sebagaimana yang disebutkan oleh ayat di muka, betapapun hubungan kekerabatan, keramahan dan manisnya mulut mereka, kita dilarang duduk bersama mereka, kecuali bagi orang yang ingin berdakwah kepada mereka, membantah kebatilan atau mengingkari mereka, maka hal itu dibolehkan. Adapun bila hanya dengan diam, atau malah rela dengan keadaan mereka maka hukumnya haram. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Jika sekiranya kamu ridha kepada mereka maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik” (At Taubah : 96)

TENTANG RASULULLAH

Selain menikah dengan Khadijjah, yaitu dimasa setelah wafatnya sang istri tercinta, Nabi Muhammad juga telah melangsungkan pernikahan secara berturut-turut dengan Saudah binti Zam’ah, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Zainab binti Khuzaimah, Hafshah binti Umar bin Khattab, Ummu Salamah, Juwairiyah binti al-Harits, Zainab binti Jahsy, Saffiyah binti Huyai bin Khattab, Ummu Habibah alias Ramlah binti Abu Sofyan, Mariatul Qibthiyyah dari Mesir dan terakhir dengan Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyyah alias Barrah sekitar tahun ketujuh Hijriyah (629 Masehi).

Dari berbagai pernikahannya itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan keturunan kecuali dari Mariatul Qibthiyyah yang merupakan hadiah dari seorang Gubernur Mesir Maukakis. Ummul Mukminin Maria melahirkan seorang putera yang oleh Rasul diberinya nama Ibrahim. Sayang usianya tidak lama, beliau hanya hidup selama 18 bulan sebelum akhirnya wafat.

Pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah termasuk peristiwa yang kontroversial, tidak hanya bagi kalangan orientalis dan musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan tetapi juga oleh para ahli sejarah Islam sendiri.

Pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah termasuk peristiwa yang kontroversial, tidak hanya bagi kalangan orientalis dan musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan tetapi juga oleh para ahli sejarah Islam sendiri. Seperti tertuang dalam banyak riwayat bahwa usia beliau ketika dinikahi oleh Nabi adalah antara 7 sampai 9 tahunan saat dimana putri Abu Bakar tersebut masih asyik bermain dengan bonekanya. Imam Bukhari sendiri mencatat perkataan dari ‘Aisyah, “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa Arab) ketika surah Al-Qamar diturunkan” (lihat: Lihat Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).

Sementara surah AL-Qamar (yaitu surah ke-54 dari Al-Quran) diturunkan kepada Nabi pada tahun ke delapan sebelum hijriyah atau pada tahun 614 M (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985). jika ‘Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 tahun (yaitu antara rentang tahun 623 M atau 624 Masehi), maka pada saat Surah Al-Qamar diturunkan ‘Aisyah tentunya masih bayi yang baru lahir (sibyah dalam bahasa Arab). Sedangkan menurut riwayat Bukhari sebelumnya, ‘Aisyah saat itu justru sudah sebagai seorang gadis muda, bukan bayi yang baru lahir. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain-main. Jadi, ‘Aisyah, telah menjadi Jariyah bukan sibyah (bayi), dengan demikian usianya bukan dalam rentang 6 hingga 13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, melainkan antara usia 14 sampai 21 tahunan. Salah satu harian Inggris, Daily Telegraph, dalam salah satu edisinya memuat sebuah artikel yang ditulis oleh Charles Moore tentang Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam

Diantara isinya adalah menggugat cerita pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah . Misalnya Moore berkata, “Apakah Nabi Muhammad adalah seorang pengidap paedophile ? Paedophile berasal dari bahasa Yunani Paidophilia, Pais artinya anak kecil dan philia berarti cinta atau teman dekat. Paedophile secara umum dimaknai sebagai penyakit kelainan seksual yang melanda orang dewasa dimana mereka merasa puas melakukan hubungan intim dengan anak-anak kecil.

Pertanyaan ini terkadang sering diajukan mengingat salah satu istrinya, ‘Aisyah, adalah seorang anak kecil ketika dinikahinya.”

Mantan Presiden organisasi Islamic Society of North America (ISNA) dan Direktur Islamic Society of Orange County, Garden Grove, California, Dr. Muzammil H. Siddiqi menyatakan bila sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan, berapa sebenarnya umur ‘Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad SAW. Beliau mengatakan, “Dalam sejarah, tidak ada yang memastikan bahwa ia berusia 9 tahun ketika menjadi istri Nabi. Informasi yang ada hanya menyebutkan antara 9 sampai 24 tahun. Tapi kedewasaan ‘Aisyah, tingkat pengetahuannya dan kontribusinya selama hidup Nabi Muhammad dan setelah wafatnya, mengindikasikan bahwa ‘Aisyah bukan gadis berusia 9 tahun yang biasa, dan seharusnya usianya lebih dari itu.” Selanjutnya sang Profesor juga mengungkapkan bahwa pada saat itu, Nabi Muhammad bukanlah pria pertama yang melamar ‘Aisyah binti Abu Bakar. Sebelumnya, seseorang yang bernama Jubair bin Mut’am yang menurut Imam Thabarani, Jubair bin Mut’am adalah tunangan ‘Aisyah sebelum Abu Bakar memeluk Islam, pertunangan itu diputuskan sepihak oleh Jubair karena dia tidak suka dengan keislaman Abu Bakar. Peristiwa tersebut terjadi ketika Abu Bakar hendak berhijrah ke Habsyah pada tahun 615 Masehi atau 7 tahun sebelum peristiwa Hijrah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya yang bernama Kitabu’l-maghazi (lihat: Kitabu’l-maghazi, Bab ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b) manakala perang Uhud meletus, Nabi Muhammad melarang Ibnu Umar untuk turut serta dalam peperangan dengan alasan bahwa usianya ketika itu baru empat belas tahun. Ibnu Umar baru diperbolehkan oleh Nabi untuk ikut berperang ketika pecah perang Khandaq sebab saat itu usianya sudah lima belas tahun. Sedangkan Ummul Mukminin ‘Aisyah justru telah mengikuti pertempuran Badar dan Uhud bersama Nabi sehingga kesimpulan sementara yang bisa diperoleh adalah usia ‘Aisyah kala itu pasti diatas empat belas tahun. Ibnu Katsir mengatakan didalam kitabnya Al-Bidayah wa’l-nihayah, Vol 8, hal 372 bila Asma adalah kakak Aisyah (lihat: Asma lahir dari pernikahan Abu Bakar dengan Qutailah binti Abd al-Uzza bin Abd bin As’ad dimasa jahiliah sedangkan ‘Aisyah terlahir dari hasil pernikahan Abu Bakar dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman dari Kinanah).

Asma wafat dalam tahun 73 Hijriah (695 Masehi) saat berusia 100 tahun, perbedaan usia Asma dengan ‘Aisyah adalah 10 tahun. Beranjak dari usia Asma tersebut maka pada tahun 622 Masehi atau tahun 1 Hijriah usia Asma tentu 27 tahun dan ‘Aisyah berusia 17 tahun. Ketika ‘Aisyah serumah dengan Rasul pada tahun 623 Masehi atau tahun ke-2 Hijriah berarti usia ‘Aisyah sudah 18 tahun. Bagaimanapun persoalannya yang digugat oleh musuh-musuh Islam, termasuk soal usia ‘Aisyah ketika menikah dengan Nabi SAW tersebut, satu hal penting yang perlu menjadi catatan tersendiri adalah bila pernikahan antara ‘Aisyah dan Nabi Muhammad SAW tidak pernah diperdebatkan oleh sahabat atau para musuh Nabi sendiri yang hidup pada jamannya.